Baru Beli Sudah Kuno: PC Rakitan Ryzen 5 5600G Milik Saya

Jonathan Ray
11 min readMay 23, 2022

--

Setup saya saat ini: Ryzen 5 5600G dengan Dual Monitor

Saat ini, satu tahun yang lalu adalah saat yang jauh berbeda. Saya termenung karena menjual komputer desktop dan tidak berhasil menggantinya sebelum semua harga komponen komputer naik. Saat itu memang hal yang seharunya menyenangkan; saya berada di depan laptop, memikirkan ingin komputer baru, dengan sebagian uang yang sudah ada tetapi tidak bisa dibelikan. Sayapun mencoba untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih positif, berkata bahwa apa yang akan saya beli nanti pasti lebih bagus daripada apa yang saya beli bulan Maret/ April 2021. Di balik semua itu, saya makin tidak nyaman dan cukup lelah bekerja dengan laptop. Meskipun telah dijadikan desktop replacement dengan ditambahnya monitor dan keyboard, saya tetapi merindukan sebuah komputer desktop, yang memiliki dukungan untuk dual monitor dan tidak kewalahan dengan segala tugas yang saya berikan (terutama Premiere Pro, sering sekali Premiere crash ketika mengedit di laptop).

Setelah kurang lebih 6 bulan mencari dan menimbang masalah komputer, akhirnya saya (dengan berat hati, karena mengumpulkan uangnya setengah mati) membeli PC rakitan dengan processor Ryzen 5 5600G, RAM 32 GB, SSD 512 GB SATA dan 512 GB NVME, serta case dan power supply yang cukup terjangkau tetapi tetap terlihat cantik dan berkualitas. Kehadiran Ryzen 5000-G series pada April 2021 adalah sebuah penantian bagi saya yang ingin merakit PC tetapi tidak punya uang untuk membayar harga GPU yang sangat naik. Ketika bulan Agustus processor tersebut masuk Indonesia, saya menunggunya selama sebulan agar harganya sedikit turun dan sudah ada reviewnya, lalu langsung memutuskan untuk merakit PC.

Saya menghabiskan uang sekitar 12 juta untuk merakit PC, 6 juta berasal dari penjualan kedua komputer lama. Nominal uang tersebut juga sudah melampaui target utama. Awalnya saya ingin merakit PC seharga 8 juta dan sisanya dipakai untuk hal lain (membeli laptop lain atau membeli lensa kamera), sehingga saya menjual dua computer. Melihat harga yang kondusif, saya sadar bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Lebih baik saya memilki 1 komputer yang bagus daripada 2 yang biasa saja. Dengan nominal uang tersebut juga, saya memiliki beberapa opsi selain merakit PC. Tahun lalu saya menjabarkan beberapa opsi tersebut yaitu membeli laptop, membeli PC sementara, membeli M1 Mac Mini, atau membeli Mac bekas.

Membeli laptop saya pertimbangkan sejak melihat Asus ZenBook 13 milik teman saya yang sangat cantik. Membeli laptop membuat saya dapat menggunakan laptop Lenovo yang sudah saya gunakan di rumah, dan menggunakan laptop yang lebih keren untuk berpergian ke luar. Opsi ini menarik, tetapi saya harus mengorbankan performa lebih yang saya dapatkan dari merakit PC (belum lagi kekurang lain seperti dukungan dual monitor). Lagipula, laptop Lenovo IPC340 14-WiL yang saya gunakan sudah lebih dari cukup untuk sekedar menjadi laptop. Maka dari itu, opsi seperti membeli PC sementara juga saya korbankan karena tidak adanya peningkatan performa (yang signifikan) dari laptop maupun komputer yang sebelumnya saya jual. Belum lagi sulitnya menjual kembali sebuah PC bekas. Lebih baik uangnya dipakai membeli PC yang bagus.

Berbicara tentang Apple juga adalah hal yang menarik (dan sejujurnya masih terpikirkan sekarang). Ada dua argumen yang membuat saya tetap memiliki keinginan merakit PC yaitu uang dan fleksibilitas. Dana adalah masalah utama. Dengan nominal uang di bawah 15 juta, saya dapat membeli M1 Mac Mini tetapi bukan spesifikasi yang saya mau (RAM 16 GB dan SSD 512 GB). Pilihan RAM 16 GB (meskipun berbasis unified memory) dan storage 512 GB sudah kurang mengingat laptop saya sudah memiliki RAM 16 GB dan SSD 1 TB. Membeli MacBook atau iMac bekas bukan pilihan, mengingat harganya yang terlalu tinggi untuk performa yang ditawarkannya. Fleksibilitas juga menjadi alasan saya merakit PC (baik software maupun hardware). Dari sisi software, aplikasi Windows tentu lebih banyak dari Mac dan didukung lebih lama. Saya juga senang dengan kustomisasi yang lebih fleksibel dari PC seperti mengubah shortcut. Dari sisi hardware, meskipun Ryzen 5 5600G mungkin tidak sepowerful M1 (atau M1 Pro, M1 Max, dan M1 Ultra), opsi untuk mengupgrade processor di motherboard yang sama masih menjadi pilihan apabila dibutuhkan (seperti upgrade menjadi Ryzen 9 5900X), belum lagi mengupgrade GPU, RAM, dan SSD. Jika saya ingin merakit PC baru, komponen seperti SSD dan PSU dapat dipakai ulang sehingga tidak mubazir.

Akhirnya pilihan saya adalah untuk merakit PC. Melihat ini setiap hari menjadi motivasi tersendiri

Saya cukup puas dengan PC saya saat ini. Sebelum merakit PC, saya sangat idealis dengan pilihan komponen bagi PC ini. Saya ingin processor Ryzen 7 5700G, saya ingin case dan motherboard yang lebih bagus, dan saya ingin pakai water cooling atau cooler merk Noctua. Setelah menggunakan PC ini selama 9 bulan, saya menyadari bahwa untuk saat ini, PC rakitan berprocessor Ryzen 5 5600G sudah sangat mencukupi untuk cara kerja saya. Tentu keinginan untuk membeli GPU tambahan seperti RTX 3060 masih ada, tetapi hal tersebut tidak se-urgent yang saya kira. GPU onboard dari AMD sudah cukup bagi saya yang bukan gamer dan hanya melakukan beberapa video editing ringan hingga medium. Saya juga merasakan peningkatan performa yang cukup signifikan dari Mac Mini 2012 maupun dari laptop yang biasa digunakan. Untuk pekerjaan sehari-hari memang tidak terlalu jauh bedanya, tetapi untuk beberapa cara kerja seperti mengedit foto video atau melakukan multitasking, performa dari PC ini terasa lebih cepat.

Salah satu tes yang saya lakukan untuk mengetahui apakah PC ini benar-benar merubah hidup saya ke arah yang lebih positif adalah meninggalkannya pada akhir Maret lalu. Saya secara mendesak harus pergi ke luar pulau selama rentang waktu yang belum ditentukan (pada akhirnya sekitar 11 hari) dan hanya membawa laptop. Dari awal, saya merasakan perbedaan bekerja dengan layar, keyboard dan trackpad bawaan dibanding dual monitor, keyboard dan mouse yang biasa saya pakai. Saya juga merasakan perbedaan dalam hal performa terutama ketika harus me-render video. Laptop yang saya gunakan sudah cukup untuk keperluan saya menggunakan laptop, tetapi untuk jangka panjang, saya tetap butuh perfoma yang lebih tinggi. Setelah saya kembali ke rumah, saya merasakan manfaat dari setup PC yang saya miliki dan rancang sendiri.

Processor yang saya pilih adalah Ryzen 5 5600G. Meskipun hanya memiliki 6 core, processor ini masih cukup untuk menjalankan virtual machine Windows. Processor ini pun masih cukup untuk mengedit video 4K di Adobe Premiere serta mengedit foto di Adobe Lightroom dan Photoshop. Tentu keperluan core yang lebih banyak atau GPU external masih terasa apabila saya bekerja dengan efek yang banyak di After Effects atau melakukan color grading yang kompleks di Premiere atau Resolve, tetapi untuk saat ini, saya belum terlalu banyak melakukan hal seperti itu. Saya juga bukan gamer, jadi saya tidak dapat memberikan testimoni yang lebih.

RAM 32 GB saya pilih karena laptop saya sudah memiliki RAM 16 GB. Meskipun untuk keperluan sehari-hari masih terasa overkill, RAM 32 GB cukup berguna ketika saya mengedit (dan meng-export) foto di Adobe Lightroom sambil mendengarkan musik. Untuk situasi yang lebih berat, saya dapat menghabiskan 21–22 GB RAM, namun untuk keperluan sehari-hari hanya menghabiskan 9 GB. Speed RAM yang hanya 3200 MHz (katanya kurang cepat untuk sistem APU) dirasa cukup bagi saya.

Cooler Master H410: Tidak penting tetapi mempercantik

Saya menggunakan dua SSD dalam PC ini. Dari awal saya sudah berniat untuk membuat PC full SSD. Saya menggunakan SSD ADATA 512 GB NVME untuk sistem dan SSD TEAM GX2 512 GB SATA untuk data. Sekarang, kapasitas SSD dalam PC ini sudah cukup, namun tidak menutup kemungkinan akan ditambah SSD atau hard disk. Saya tidak mendapatkan perbedaan kecepatan yang signifikan untuk keperluan sehari-hari termasuk untuk video editing antara SSD SATA dan NVME.

Motherboard yang saya gunakan adalah motherboard termurah (saat itu) untuk chipset B550 yaitu ASRock B550M Pro4. Motherboard ini tidak secantik dan selengkap versi yang lebih mahal seperti B550M Steel Legend, tetapi fitur-fiturnya sudah cukup. Kendala seperti tidak adanya Bluetooth dan Wi-Fi juga teratasi dengan membeli dongle USB murah. Satu keluhan yang saya temukan adalah perlunya mengupdate BIOS ke revisi yang paling terbaru, karena BIOS bawaan (yang mendukung Ryzen APU) kurang stabil (membuat layar flicker pada saat pertama kali boot setelah restart). Selain masalah yang sudah terselesaikan, saya tidak memiliki keluhan lain.

Power supply adalah komponen terpenting dalam komputer, maka dari itu saya memilih power supply dari pabrikan yang sebelumnya saya ketahui. Awalnya saya berniat membeli power supply modular bersertifikasi Gold, tetapi akhirnya downgrade ke power supply FSP 650W Bronze. Harga dari power supply ini tidak terlalu mahal dan sepertinya berkualitas (setidaknya saya mengenal merk FSP). Satu kekurangan adalah kabelnya yang tidak modular, sehingga terlihat berantakan dan merepotkan setiap kali membersihkan dan menata ulang komputer. Kapasitas 650-watt sangat overkill untuk spesifikasi saya, tetapi menyisakan sedikit ruang apabila akan menambah GPU seperti RTX 3060.

Secara impulsif, saya membeli cooler tambahan, meskipun cooler bawaan AMD seharusnya sudah cukup. Saya membeli Cooler Master H410 dengan harapan dapat menurunkan temperatur CPU. Saya belum menguji suhunya dengan cooler bawaan, tetapi cooler ini bekerja dengan baik dan senyap. Mungkin tidak perlu dibeli (atau seharusnya membeli yang lebih tinggi seperti Hyper 212) tetapi untuk harga murah, saya menyukai desain serta fan-nya yang senyap.

Front Panel Mesh membuat saya harus rajin membersihkannya. Ini hanya dengan tisu dan hand sanitizer di bagian depan

Casing Techware Nexus Air M2 dipilih karena ini adalah casing mATX termurah yang terlihat cantik (setidaknya mirip NZXT H510). Saya memilih warna putih, yang setelah 9 bulan masih terpikirkan karena kotoran lebih mudah terlihat. Alasan membeli case warna putih hanya karena saya bosan dengan PC yang berwarna hitam (sebagai pengguna Apple, biasanya ada stereotip bahwa PC hanyalah kotak hitam boring yang ada di kantor). Tempered glass yang berada di samping kiri terlihat keren, membuat saya termotivasi setiap kali melihatnya, meskipun bezelnya terlihat cukup tebal. Case ini, seperti kebanyakan case murah memang tidak sepresisi case yang lebih mahal. Kekurangan lain dari case ini terdapat pada fan-nya. Fan-nya tidak terlalu berisik, tetapi tidak senyap juga. Setidaknya bunyi fan-nya konstan. Case ini pun tidak memiliki filter debu. Hal ini, ditambah dengan front panel-nya yang mesh membuat saya harus rutin membersihkan komputer ini sebulan sekali.

PC ini dipadukan dengan komponen-komponen lama saya. Monitor AOC 24G2E5 (dibeli secara terpisah sebelum ada niatan membeli PC) melalui DisplayPort (support 75 Hz) dan monitor LG Flatron E1941 (dipakai sejak 2012) melalui VGA (Cukup beruntung motherboard ini masih memiliki port VGA). Saya juga menggunakan mouse wireless Logitech termurah (B175) sejak 2013 sembari mencari mouse yang ergonomisnya lebih baik. Dua bulan yang lalu, saya juga baru mengganti keyboard dari Rexus MX3.1 Brown switch ke keyboard Fantech MK853 Red switch. Webcam Logitech C920 (terkadang digantikan Sony A6400), mic Samson Meteor Mic (terkadang digantikan Takstar SGC 600), headphone kabel Rexus, serta speaker Denon dengan Lvpin LP 838 dari setup lama setia menemani untuk menghasilkan setup terbaik saya (untuk saat ini).

Saya juga membeli USB SD Card reader karena lupa bahwa tidak umum sebuah PC memiliki card reader. Terbiasa menggunakan Mac Mini 2012 dan laptop Lenovo membuat saya lupa bahwa card reader bukan hal yang selalu umum ditemukan.

Beberapa saat setelah saya merakit PC, banyak komponen komputer baru yang diluncurkan. Alder Lake (Intel generasi ke-12), MacBook Pro baru dengan M1 Pro dan M1 Max, Mac Studio dengan M1 Ultra, Ryzen 5800X3D, Ryzen 6000, serta beberapa GPU seperti RX6500XT dan RTX 3050. Harga 12 juta yang saya bayar untuk PC inipun seiring waktu makin berkurang. Saat ini, PC dengan spesifikasi serupa dapat dibeli pada harga 10–11 jutaan. Saya tidak menyesal dan memikirkan tentang hal itu. Bagi saya, PC yang saya rancang ini sudah cukup menemani saya untuk 5 tahun ke depan. Teknologi baru akan selalu keluar dan teknologi serupa biasanya akan lebih murah, tetapi saya membeli PC ini saat saya membutuhkan PC, dan hal itu sudah cukup memberikan ketenangan bagi saya. Lagipula, apabila saya merasa kurang dan memiliki banyak uang, saya tinggal mengupgrade komponen yang ada. Setidaknya saya sudah memiliki PC yang lebih bagus daripada apa yang seharusnya saya beli bulan Maret/ April 2021 (selain GPU-nya).

FYI: Baterai laptop Lenovo saya sekarang rusak setelah 6 bulan dipakai hampir setiap hari dalam tercolok ke listrik. Saat ini, saya sedang mencari cara untuk memperbaiki baterai tersebut. Salah satu pengorbanan (barang dan uang) yang tidak terasa akibat tidak memiliki dan menunggu PC yang ideal.

Battlestation saat ini: 1 PC dengan 1 Laptop yang rusak baterainya

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Tulisan tersebut sudah saya selesaikan sejak 10 April 2022, tetapi saya tidak berniat untuk mengedit dan menerbitkannya, karena tidak ada gunanya tulisan yang isinya hanya pamer barang. Hari ini saya putuskan untuk menerbitkannya karena AMD baru saja meluncurkan Ryzen 7000-series.

Linus Tech Tips (lttstore.com) mengatakan bahwa saat ini, PC keluaran lima tahun yang lalu pun sudah mulai terasa umurnya. Jika kita melihat ke belakang, lima tahun yang lalu adalah waktu Intel 7000-series diluncurkan dan AMD baru meluncurkan Ryzen setelah bertahun-tahun stuck di platform Bulldozer. Menurut saya, umur lima tahun untuk sebuah komputer masih tergolong muda. Sebelum 2017–2018, performa yang dihasilkan dari tiap generasi baru stagnan. Ketika saya menggunakan laptop Intel generasi kedelapan dengan Intel generasi ketiga, saya tidak terlalu merasakan perbedaan untuk kebutuhan sehari-hari. Sejak 2019, setiap PC baru umumnya memberikan peningkatan antar-generasi yang signifikan.

PC saya sekarang berumur 9 bulan. Dalam rentang waktu tersebut, PC ini sudah menjadi komputer yang cukup, meskipun masih ada beberapa kekurangan seperti belum adanya GPU external. Di atas, saya menulis bahwa tidak ada rasa penyesalan akan rilisnya komponen-komponen baru. Setiap kali saya membeli barang, tidak lama kemudian, pasti selalu ada komponen yang lebih murah atau lebih baru. Bagi saya, hal ini tidak berpengaruh karena PC ini sudah cukup (setidaknya untuk lima tahun kedepan, walaupun saya berharap dapat bertahan hingga minimal delapan tahun kemudian). Kebanyakan komponen baru juga di luar budget. Satu hal yang menjadi penyesalan adalah umur chipset B550 dan RAM DDR4 sudah berakhir dan tidak memiliki processor yang lebih baik daripada Ryzen 9 5950X. Kenyataanya, hal serupa juga akan saya alami apabila beralih ke Mac (tidak dapat diupgrade) atau Intel (biasanya berbeda chipset setiap ganti generasi). Di satu sisi, saya menyesali bahwa platform yang saya punya sudah tidak memiliki upgrade path yang lebih tinggi, tetapi saya juga berpikir bahwa seiring berjalannya waktu, platform yang baru dengan chipset yang baru akan melampaui komponen lama (termasuk komponen high end), belum lagi memperhitungkan konsumsi daya yang (seharusnya — cough cough rumor RTX 4000) lebih rendah.

Setiap kali saya memikirkan untuk mengupgrade PC, saya mengingat bahwa saya belum dapat memaksimalkan performa yang ada. YouTuber seperti Casey Neistat menggunakan MacBook Pro keluaran 2015 saat mereka sedang gencar membuat konten pada tahun 2015–2017. Saya belum pernah menyentuh kemampuannya dalam mengedit video, bahkan lima tahun setelahnya. Oleh karena itu, saya pasti belum membutuhkan komputer yang lebih baik karena PC saya pun sudah lebih powerful daripada MacBook Pro yang dia pakai lima tahun yang lalu.

Tinggal satu yang kurang: GPU!

--

--

Jonathan Ray
Jonathan Ray

Written by Jonathan Ray

Curahan isi otak dan hati oleh seorang yang biasa saja. Opini pribadi, tidak menggambarkan siapapun kecuali saya.