Pakai Webcam Mahal
Sejak tahun lalu, saya mengganti webcam yang selalu saya gunakan (Logitech C920) menjadi satu dari dua kamera yaitu Canon 6D dan Sony A6400. Kali ini, saya akan memberikan review mengenai rasanya pakai webcam mahal dan apakah hal ini worth it dibandingkan membeli webcam biasa seharga 500.000-an?
Keinginan saya menggunakan kamera asli sebagai webcam berawal ketika mendapatkan Sony A6400. Mendapatkan kamera baru berakibat kurangnya pemakaian kamera lama. Maka dari itu, daripada kamera Canon 6D ditinggalkan di lemari, berdebu, dan seperti tidak dihargai setelah 8 tahun bersama, maka saya membeli dummy battery (alat pengganti baterai kamera sehingga kamera bisa menyala menggunakan daya listrik) serta tongsis, mengikatnya pada stand monitor sebagai mount, dan menggunakan kamera tersebut sebagai webcam. Saya juga membeli HDMI Capture card namun tidak menggunakannya karena kamera Canon keluaran lama seperti 6D tidak dapat memberikan output HDMI yang bersih, sehingga saya harus memotong (crop) output di OBS dan menggunakan OBS Virtual Camera, yang memberatkan performa komputer saat itu (Mac Mini 2012). Akhirnya saya menggunakan software Canon EOS Webcam Utility dan menghubungkan kamera dengan kabel mini USB.
Setup Canon 6D bekerja dengan cukup baik. Saya jarang mengalami masalah dengan software Canon EOS Webcam Utility, kecuali sedikitnya dukungan software video conferencing pada awal kemunculannya. Kendala terbesar saya berada pada kameranya sendiri. Kendala pertama adalah Canon 6D tidak memiliki continuous autofocus, sehingga saya harus selalu melakukan manual focus, yang bukan masalah apabila saya duduk tegak, namun saya adalah tipe orang yang suka bergerak-gerak di kamera, dan akhirnya merepotkan bagi saya untuk selalu mengatur fokus.
Kendala autofokus tidak sebesar kendala saya yang kedua yaitu hasil gambar dari kameranya sendiri. Seperti disebutkan sebelumnya, Canon 6D tidak memilki output HDMI yang bersih, sehingga saya harus memotong frame video di OBS, tetapi output dari Canon 6D juga tidak murni beresolusi 1080p, karena output video yang dihasilkan hanyalah sebesar resolusi layar kamera itu sendiri yaitu 720x480. Menggunakan software Canon EOS Webcam Utility sedikit lebih tajam daripada output HDMI, namun hanya menghasilkan output 576p karena limitasi USB 2.0 dalam mengangkat resolusi video. Hasilnya, video dari Canon 6D terlihat lebih pecah dari webcam orang-orang lainnya ketika ada sesi foto bersama, walaupun apabila dinilai dari pergerakan video, hasil dari Canon 6D lebih mulus dan jernih. Hasil video ini cukup memalukan karena seharusnya menggunakan DSLR sebagai webcam dapat menghasilkan gambar yang lebih tajam daripada webcam biasa. Canon 6D tidak menghasilkan video yang tajam apabila dibandingkan dengan kamera Canon lainnya, namun saya berasumsi hal tersebut tidak terlalu berpengaruh jika digunakan sebagai webcam. Ternyata saya salah.
Kendala-kendala tersebut akhirnya memicu rasa penasaran saya. Saya akhirnya mencoba menggunakan Sony A6400 sebagai webcam melalui koneksi HDMI untuk mengetahui seberapa bagus kamera ini untuk dipakai menjadi webcam. Kamera-kamera Sony sering dibilang sebagai kamera terbaik untuk streamer karena performa autofokus dan bersihnya output HDMI. Maka dari itu, saya penasaran mengetahui seperti apa webcam yang bagus, walaupun masih ada penghalang yaitu capture card yang saya miliki adalah barang termurah di online shop dan masih beresolusi 1080p.
Menggunakan Sony A6400 sebagai webcam mengatasi semua kendala yang saya alami ketika menggunakan Canon 6D sebagai webcam. Autofokus yang cepat, gambar yang lebih jernih (karena dapat mengirimkan gambar 4K, meski yang diterima hanya 1080p), dynamic range yang lebih baik, adanya layar yang dapat dilipat, dan bobot yang lebih ringan (lebih mudah ditempatkan di tongsis) membuat kamera ini menjadi webcam terbaik yang saya miliki. Beberapa kali saya mendapat private chat ketika berada di Zoom memuji kamera yang jernih. Walaupun entah mengapa saya masih merasa bahwa hasil dari Sony A6400 tidak sejernih webcam orang lain (rumput tetangga selalu lebih hijau), saya tetap merasa puas dan secara objektif menilai bahwa Sony A6400 adalah webcam terbaik dari semua kamera yang saya miliki.
Sejak awal pandemi COVID-19, saya selalu mencari cara untuk memperumit sesuatu. Saya tidak mau sesuatu yang simpel dan pasti. Walaupun saya sudah memiliki webcam (baik bawaan atau Logitech C920), saya tetap mencoba menggunakan ponsel dan kamera sebagai webcam. Saya pernah menonton video, dan dalam video tersebut, ada seseorang yang mengatakan “being different for the sake of being different is not a good thing” dan hal ini menyentuh diri saya. Apakah sengaja menggunakan webcam mahal hanya karena ingin dapat pujian merupakan sesuatu bijaksana? Dengan menggunakan kamera sebagai webcam, saya juga harus menambah pengeluaran seperti membeli dummy battery (sekitar 300.000-an per kamera), tongsis untuk menaruh kamera, cable ties untuk mengikat tongsis, dan daya listrik untuk menyalakan kamera. Dalam eksperimen ini, saya menghabiskan uang 700.000-an.
Apakah menggunakan kamera sebagai webcam adalah sesuatu yang worth it? Sekarang sudah tahun ketiga dari pandemi COVID-19. Kebanyakan orang sudah memilki setup WFH yang ideal (berkata kamera dan microphone rusak bukanlah lagi alasan yang berterima apabila tidak mau jawab di kelas), namun apabila ingin upgrade, apakah tetap layak menggunakan kamera sebagai webcam? Sekarang kebanyakan sektor pekerjaan dan pendidikan sudah menuju normal, lalu apakah alat-alat video call atau streaming masih akan dipakai? Fenomena berkomunikasi virtual tidak akan punah, melihat populernya panggilan video sejak adanya pandemi, apalagi untuk behubungan antar teman atau keluarga yang jauh. Jika sudah memiliki kamera yang terlihat bagus untuk dijadikan webcam (punya autofokus yang bagus dan output HDMI yang bersih), maka tidak ada salahnya menggunakan kamera tersebut sebagai webcam. Tetapi, saya tidak merekomendasikan membeli kamera hanya untuk dijadikan sebagai webcam. Karena apabila hanya ingin dipakai sebagai webcam, maka belilah webcam yang lebih bagus dan upgrade lighting. Kita juga perlu memperhitungkan bahwa panggilan video sudah ada jauh sebelum adanya pandemi, dan saat itu, kita merasa webcam komputer dan ponsel sudah cukup.
Logitech C920 dibeli pada September 2016, jauh sebelum pandemi dengan harga 1.2 jutaan. Ketika awal pandemi, harga webcam ini melambung tinggi hingga 3 jutaan. Saat ini harga kamera tersebut sudah berada di kisaran 800.000–1.200.000-an. Penerusnya pun sudah ada seperti Logitech C922, Logitech Streamcam, dan Logitech Brio. Jangan beli Logitech C920 di tahun 2022 karena webcam ini sudah berumur 10 tahun dan sudah banyak webcam-webcam seharga 500.000-an yang katanya sebagus Logitech C920. Apabila tidak memiliki apa-apa, maka saya akan membeli webcam seharga 500.000-an dan membeli lighting kit seharga 200.000-an daripada mengusahakan kamera asli sebagai webcam. Meskipun demikian, mencoba banyak opsi webcam adalah sesuatu yang menarik dan tidak saya sesali.
Bagi saya, mengeluarkan uang 8 juta untuk membeli kamera yang bisa dijadikan webcam sangatlah worth it apabila juga akan dipakai sebagai kamera, tetapi mengeluarkan uang lebih dari 500.000 untuk sebuah webcam sangatlah tidak layak. Sepengalaman saya, tidak ada yang peduli dengan kualitas video orang lain di Zoom (kecuali kalau memang sangat jernih — dan itupun hanya 2 orang dari ratusan orang yang pernah satu room dengan saya). Layanan seperti Zoom dan Google Meet hanya mendukung video sampai 720p, sehingga webcam 4K tidak terlalu berpengaruh. Bahkan apabila akan dipakai streaming, biasanya layanan seperti Twitch hanya mendukung bitrate hingga 6500Mbps, cukup kecil dan tidak terlalu membedakan webcam mahal dan murah. Bagi saya, meningkatkan lighting adalah sesuatu yang lebih bijak daripada webcam baru, karena semahal apapun kamera, apabila berada di kondisi pencahayaan yang tidak ideal, maka tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Pencahayaan yang baik akan memberikan pengaruh lebih besar daripada kamera bagus.
Sekarang saya akan tetap menggunakan Sony A6400 sebagai webcam apabila diperlukan (seperti jika saya berada di suatu event yang penting, sehingga saya harus terlihat lebih bagus dari biasanya (jarang terjadi)), namun kamera tersebut tidak berdiam di tongsis melainkan di lemari. Di atas monitor saya adalah sebuah Logitech C920. Saya juga menggunakan software Logitech Camera Setting untuk mengatur exposure, zoom, dan white balance, karena saya tidak pernah puas dengan hasil bawaannya. Hasilnya tentu tidak sebagus Sony A6400, namun sudah cukup bagus untuk video call dan lebih praktis, tidak perlu colok listrik, hanya satu kabel. Saya tidak terlalu peduli dengan ketajaman gambar karena ini adalah webcam beneran terbaik yang saya miliki, saya tidak punya pilihan lain. Saya memilih untuk membatasi penggunaan kamera Canon 6D sebagai webcam. Hasilnya yang kurang tajam dan penggunaannya yang lebih rumit membuat kamera tersebut hanya terpakai sebagai kamera khusus fotografi.
Beberapa bulan setelah menyelesaikan tulisan ini, kamera tersebut akhirnya dijual karena tidak terpakai.
Tulisan ini menginspirasi saya untuk menulis pengalaman menggunakan kamera sebagai webcam. Saya juga pengguna kamera Sony, tetapi saya tidak mengalami permasalahan yang penulis artikel alami. Kebanyakan masalah disebabkan oleh aplikasi webcam bawaan Sony (seperti EOS Webcam Utility milik Sony). Aplikasi webcam Sony memang lebih buruk daripada Canon, namun itu tidak berpengahruh karena saya tidak menggunakannya dan memiliki pengalaman baik dengan HDMI Capture Card termurah yang telah dimiliki. Satu hal yang saya setuju, penulis menyimpulkan bahwa No one will acknowledge my webcam and I’ll feel immense pride.