Mendokumentasikan Konser BLACKPINK dengan Ponsel Lama | Tidak Ada Niatan Ganti

Jonathan Ray
5 min readMay 26, 2023

--

Venue Konser BLACKPINK melalui Kamera Ponsel Lama yang Tidak Bisa Zoom

Pelajaran tentang kebutuhan primer, sekunder, dan tersier mungkin sudah dipelajari orang sejak masih SD. Jika belum punya tempat tinggal, untuk apa membeli mobil? Jika kita belum memiliki sesuatu yang dianggap lebih penting, untuk apa menghamburkan uang membeli sesuatu yang tidak penting?

Sebagai Fans BLACKPINK dan User Samsung, saya sangat ingin ponsel ini. Kualitas kameranya masih lebih buruk dibandingkan ponsel milik pribadi

Saya adalah fans BLACKPINK (Blink) dan selalu memiliki niat untuk menonton konser BLACKPINK. Saat menjadi fans-nya pada tahun 2019, ponsel yang saya gunakan (Galaxy S9) masih termasuk baru. Ponsel tersebut baru berusia 1 tahun. Andaikan BLACKPINK konser pada akhir 2019, ponsel saya masih menjadi salah satu ponsel terbaik dalam venue tersebut. Bahkan, tidak perlu dibayangkan. BLACKPINK pernah konser pada Januari 2019 dan Galaxy S9 masih menjadi model ponsel seri-S terbarunya Samsung. Selang beberapa bulan, BLACKPINK menjadi brand ambassador Samsung Galaxy A, yang kualitas kameranya lebih buruk daripada ponsel saya. Seandainya konser BLACKPINK diadakan pada awal 2020, tulisan ini mungkin tidak ada, karena belum ada ponsel-ponsel seperti Galaxy S22 Ultra yang mampu merekam dengan kemampuan zoom-nya yang jauh.

4 tahun berlalu dan banyak perubahan terjadi. Desain ponsel dari tahun 2019 dan sekarang berbeda. Saat itu, ponsel ber-notch mulai menjadi sesuatu yang mainstream. Sekarang, hal yang sama sudah dianggap ketinggalan zaman. Begitu pula kamera ponsel. Dahulu, memiliki 2 kamera dianggap sebagai pemborosan (siapa juga yang akan nge-zoom? Kualitas zoom-nya pun tidak terlalu bagus). Sekarang, tidak jarang ponsel memiliki 3 kamera. Selfie menggunakan kamera ultrawide (0.5x) yang menurut saya aneh karena adanya kamera depan, malah menjadi tren. Pertimbangan inilah yang membuat saya berniat untuk mengganti ponsel sebelum menonton konser BLACKPINK.

Saya memiliki tiket BLACKPINK Platinum sisi kanan sejak November 2022. Karena konser akan diadakan pada Maret 2023, masih ada waktu 4 bulan mengumpulkan dana untuk mengupgrade ponsel. Sayangnya, 2 minggu sebelum tiket BLACKPINK dijual, karena juga adanya suatu proyek, saya membeli kamera tambahan, sehingga dana “foya-foya” pun sudah habis. Saya harus tekun berhemat dan mengumpulkan dana supaya dapat meng-upgrade ponsel. Masak, harga tiketnya lebih mahal daripada harga ponsel yang akan mendokumentasikan pengalaman saya? Pertanyaan ini menghantui saya hari-demi-hari, terutama 2 minggu menjelang konser.

Ada rasa kurang sreg untuk mengganti ponsel. Awalnya, saat baru membelinya, saya merasa ponsel ini akan cukup menemani selama 3–4 tahun (biasanya saya mengganti ponsel setiap 2–3 tahun karena performanya lambat). Sejak 2017, peningkatan performa ponsel tiap tahunnya tidak begitu signifikan, sehingga untuk kegunaan sehari-hari tidak terasa bedanya. Sekarang, tidak ada niatan untuk mengganti ponsel karena ternyata 4 tahun kemudian, performanya masih cukup dan masih sangat nyaman digunakan. Alasan ganti ponsel karena kamera juga akan membuat kamera-kamera yang saya miliki mubazir dan jarang dipakai. 2 hal yang juga memberatkan keinginan mengupgrade ponsel adalah harga dan dengan apa?

Dulu, saya membeli Galaxy S9+, sebuah ponsel flagship Samsung keluaran Maret 2018 pada Mei 2019 di harga 6.5 juta. Sudah setengah harga dari awalnya sekitar 12 juta, 14 bulan sebelumnya. Dengan logika seperti itu, pada bulan Maret 2023, ponsel flagship Galaxy S21 atau S22 Ultra sudah setengah harga, 12 dan 24 bulan setelah kemunculannya. Nyatanya, hal tersebut tidak terjadi. Jika saya ingin membeli ponsel dengan harga 6.5 juta, maka hanya akan dapat Galaxy S20+, yang sudah berumur 36 bulan. Ada inflasi, namun tidak dapat dipungkiri ada juga sikap normalisasi akan harga ponsel yang tambah mahal.

Akibat terbatasnya budget, pilihan ponsel yang tersedia terbatas. Sebagai pengguna ponsel kelas atas Samsung, ada rasa aneh jika harus turun kelas ke kelas menengah. Sekalipun ada yang menarik, ponsel-ponsel tersebut tidak akan terasa seperti upgrade, melainkan hanya side-grade, sehingga, tidak terasa perbedaan yang signifikan dengan yang sudah dimiliki. Ujung-ujungnya, mungkin dalam waktu dekat, saya harus tetap mengupgrade ponsel lagi. Maka, dengan berat hati, saya pergi ke konser BLACKPINK dengan ponsel berusia 5 tahun.

Menonton konser BLACKPINK adalah inti dari pengalaman ini. Saya menonton konser, merasakan euforia konser, melihat dan mendengar 4 orang yang ternyata nyata, dan ikut bernyanyi dan berteriak bersama 55.000 orang lainnya. Tentu ada rasa minder melihat orang lain, terutama sebelah saya yang memiliki iPhone ber-boba (sebutan untuk iPhone 11 ke-atas yang memiliki kamera bundar). Mereka dapat menonton konser dan mendokumentasikannya dengan ponsel yang LEBIH MAHAL daripada harga tiketnya. Mungkin dalam baris atau section Platinum, ponsel saya termasuk dalam kategori paling buruk. Namun, meski gambar yang dihasilkan jelek dan tidak berbentuk, saya merasa puas dan cukup.

Mengabadikan Pengalaman, bukan Artisnya: Foto seperti ini adalah mayoritas dokumentasi saya

Konser adalah tempat untuk menikmati performa artis. Mungkin sudah banyak wacana yang mengemukakan, “konser itu jangan direkam, tapi dinikmati”. Tetapi, saat saya berada di konser (terutama karena terpisah dengan teman), saya tidak memiliki kegiatan lain. Saya hanya duduk (tidak boleh berdiri), ikut berteriak, menyanyi, dan merekam. Tidak semua lagu saya rekam untuk menikmati momen, tetapi jika saya merekam, saya tidak merekam stage. Saya hanya merekam secara lebar: suasana yang ada, orang-orang yang ikut bernyanyi, dan luasnya GBK. Ungkapan “we don’t remember days, we remember moments” mungkin agak nyambung (we don’t remember the stage, we remember moments). Saya tidak berniat untuk merekam BLACKPINK, tetapi saya berniat untuk merekam apa yang saya rasakan di konser BLACKPINK. Toh, sudah banyak fancam orang lain dengan kualitas yang lebih bagus. Inilah yang membuat saya puas dan cukup, karena apa yang ada sudah cukup untuk merekam pengalaman pribadi.

Pernyataan “harga tiketnya lebih mahal daripada harga ponsel yang mendokumentasikan pengalaman” masih ada. Meski merasa cukup, saya tetap berandai-andai pergi ke konser dengan ponsel yang baru. Saya mencoba untuk menyingkirkan pemikiran-pemikiran tersebut karena konser sudah berakhir. Jika saya mengganti ponsel sekarang, hal ini akan dianggap mubazir dan telat, karena saya sudah memiliki ponsel yang cukup (kecuali kameranya). Akhirnya, saya kesampingkan pemikiran tersebut.

Tentu dengan tidak mengganti ponsel, saya tidak dapat mendokumentasikan momen secara maksimal (bahkan malu untuk upload Instagram karena kualitasnya), namun saya belum memiliki cukup uang untuk membeli ponsel demi menonton konser. Saat ini, euforia konser Coldplay mulai terasa. Saya sempat berpesan kepada orang-orang yang ingin menonton untuk upgrade ponsel sebelum pergi. Satu jawaban yang mengena dalam hati saya adalah, “Untuk apa ganti? Yang ada pun masih cukup”, meski ponsel tersebut adalah iPhone beberapa generasi yang lalu. Teknologi ponsel sudah baik, bahkan keluaran 4–5 tahun yang lalu masih sangat memumpuni.

Setidaknya masih dapat memotret bias saya dengan kualitas agak jelas

Lalu, bagaimana dengan saya? Jika BLACKPINK konser tahun depan, saya akan datang dengan ponsel yang sama. Jika BLACKPINK konser 2 tahun lagi, mungkin ada peluang untuk ganti ponsel. Meski saya mengesampingkan pemikiran ganti ponsel, pemikiran tersebut tetap ada. Ada rasa untuk mencoba suasana baru dengan mengganti ponsel atau sistem operasi (iOS?). Sayangnya, selagi bersiap-siap untuk tukar tambah, saya diingatkan dengan waktu yang salah. Kenapa baru saat ini mengganti ponselnya? Sebagai manusia, saya tidak bisa selalu mendapatkan semuanya dalam waktu yang ideal. Satu hal yang membuat saya agak tenang, ponsel apapun dalam rentang budget pribadi tidak memiliki kamera super-zoom yang dapat membuat pengalaman konser ini berbeda.

--

--

Jonathan Ray

Curahan isi otak dan hati oleh seorang yang biasa saja. Opini pribadi, tidak menggambarkan siapapun kecuali saya.