Samsung Galaxy S9+ | 6 Tahun Kemudian

Jonathan Ray
8 min readMay 25, 2024

--

Benda terpenting dalam hidup saya

Ponsel adalah benda terpenting dalam hidup saya. Banyak orang yang berkata, “lebih baik ketinggalan dompet daripada ponsel” dan saya setuju akan hal itu. Bagi saya, ponsel sudah menjadi benda yang lebih penting daripada semua peralatan teknologi saya (termasuk komputer). Ponsel yang selalu menemani saya sejak 2019 adalah Samsung Galaxy S9+. Ponsel ini juga pernah menjadi subjek dari 2 artikel dalam blog ini yang berinti tidak ingin mengganti ponsel. Sekarang, apakah hal tersebut masih berlaku? Sebelum saya mengganti ponsel, ada baiknya saya membuat 1 artikel pengalaman menggunakan barang yang sangat berjasa bagi saya.

Tidak. Saya tidak mengganti ponsel ini (untuk saat ini). Namun, melihat FYP TikTok penuh dengan ponsel-ponsel terbaru, membuat saya berpikir untuk memensiunkan ponsel ini. Selain itu, penggunaan ponsel yang sudah menginjak tahun ke-enam, membuat saya merasa cukup paham dan agak bosan dengan semua kelebihan dan kekurangannya.

6 tahun bukanlah waktu yang singkat. Bagi saya, 2018 masih seperti 2-3 tahun. Nyatanya, bayi umur 6 tahun sudah masuk Sekolah Dasar. Inilah keunggulan utama dari ponsel ini: tidak terasa tua. 6 tahun yang lalu, saya menggunakan Samsung Galaxy A5 2016. 3 tahun setelahnya, ponsel tersebut sudah terasa tua dan tidak nyaman dipakai. Sulit membayangkan menggunakan iPhone 5 atau Samsung Galaxy S3 di tahun 2018. Perkembangan ponsel yang signifikan antara 12 tahun yang lalu ke 6 tahun yang lalu, kemudian menjadi stagnan 6 tahun setelahnya, membuat ponsel ini tidak terasa tua.

Sebelum melanjutkan artikel ini, saya wajib menyampaikan bahwa saya tidak memiliki pengalaman dengan ponsel-ponsel terbaru. Inilah ponsel terbaru saya. Maka, saya tidak memiliki kemampuan untuk mengujinya dengan ponsel-ponsel terbaru. Saya tidak memiliki hak untuk mengklaim sesuatu yang belum teruji. Ini hanyalah pengalaman saya menggunakan ponsel ini. Sangat subjektif.

Ini merupakan ponsel termahal yang pernah saya punya. Ini juga merupakan ponsel flagship pertama yang saya punya. Sebelumnya, saya hanya menggunakan ponsel-ponsel kelas menengah seperti Sony Xperia SP dan Samsung Galaxy A5 (2016). Tujuan saya membeli ponsel ini saat itu adalah merasakan ponsel flagship yang cukup baru (keluaran Februari 2018 dan dibeli pada Mei 2019). Menggunakan ponsel kelas menengah memang cukup, namun saya sering merasakan perbedaan kualitas kamera Samsung seri-A (kala itu, A5 2016) dengan Galaxy S7 milik teman saya. Keinginan untuk memotret tanpa khawatir hasil yang tidak fokus merupakan alasan lain saya membeli ponsel ini.

Ada rasa bangga dan keren menggunakan ponsel flagship (bahkan sekarang, saat sudah dijuluki mantan flagship). Utamanya, inilah ponsel terbaik yang Samsung buat pada tahun tersebut (selain Note 9). Inilah gabungan dari semua hal paling terbaik yang Samsung dapat ciptakan saat itu. Memiliki barang yang pernah menjadi kasta tertinggi memiliki gengsinya tersendiri. Orang yang naik Alphard tua akan dijuluki “old money”, meski harganya lebih murah daripada Veloz terbaru. Dalam artikel tentang menonton konser BLACKPINK, saya berandai pergi ke konsernya pada Januari 2019 dan menulis,

“Saat menjadi fans-nya (BLACKPINK) pada tahun 2019, ponsel yang saya gunakan (Galaxy S9) masih termasuk baru. Ponsel tersebut baru berusia 1 tahun. Andaikan BLACKPINK konser pada akhir 2019, ponsel saya masih menjadi salah satu ponsel terbaik dalam venue tersebut. Bahkan, tidak perlu dibayangkan. BLACKPINK pernah konser pada Januari 2019 dan Galaxy S9 masih menjadi model ponsel seri-S terbarunya Samsung.”.

Memiliki the greatest and finest memiliki keunggulan lain selain gengsi. Intinya, saya tidak bisa komplain akan kekurangan ponsel ini karena inilah yang terbaik. Tidak ada yang lebih baik daripada ini (saat itu). Hal tersebut terbukti dari cantiknya desain, ciamiknya kualitas layar, performa yang gesit, dan bagusnya hasil foto. 2 diantanya masih sulit dikalahkan oleh ponsel-ponsel kelas menengah saat ini. Memegang ponsel yang tipis berwarna ungu dengan layar melengkung terasa mewah. Fit and finish dari sebuah flagship memang dapat diadu. Ponsel seharga 800.000-an (menurut marketplace) ini masih terasa seperti ponsel di atas 5 juta.

“Your smartphone screen is most likely the best display that you’ll ever own”. Banyak ungkapan demikian dan saya setuju. Layar ponsel ini sudah qHD, sedangkan TV di rumah masih HD (dan HD kualitas tahun 2010). Saya tidak memiliki layar yang lebih bagus daripada ponsel ini. Layar AMOLED Samsung menjadi acuan utama saya untuk menilai kualitas gambar, terutama kualitas color grading pada video-video yang saya buat. Bila mengacu pada harga TV OLED (saat ini LG C3), butuh biaya 12–15 juta untuk membeli layar yang sama baiknya dengan ponsel ini.

Alasan utama membeli ponsel ini adalah untuk mencoba ponsel kelas atas. Sebelumnya, saya selalu menggunakan ponsel-ponsel kelas menengah yang hanya bertahan selama 2 (atau bila dipaksa, 3) tahun. Bukan karena rusak, tetapi karena performa. Apakah karena saat itu perkembangan ponsel cukup pesat? Bisa saja. Mungkin ponsel-ponsel kelas menengah modern memiliki umur yang lebih lama daripada dulu. Yang pasti, 6 tahun kemudian, saya belum pernah merasa kecewa akan performa ponsel ini. Tidak pernah ada lag dan jarang error. Bahkan, saya mengapresiasi kesabaran saya sebelumnya, mampu menggunakan ponsel yang sangat nge-lag. Menggunakan ponsel flagship membuat saya tidak bertoleransi dengan lambatnya performa.

Difoto pada tahun 2019. Mungkin terlihat biasa saja, tetapi saat itu termasuk bagus.

Terakhir, kamera. Sebagai penghobi fotografi dan videografi, ponsel harusnya menjadi alat yang cukup penting dalam menyalurkan hobi tersebut. Ada saatnya saya tidak bisa membawa kamera sehingga ponsel harus dapat mengabadikan momen tersebut. Adalah sebuah keuntungan bila ponsel yang saya gunakan memiliki kamera yang bagus. Beranjak dari ponsel kelas menengah, sangat lega rasanya memiliki ponsel yang dapat mengabadikan momen dengan baik. Saya hanya tinggal memotret tanpa harus memikirkan pecah atau kaburnya hasil foto, setidaknya untuk kualitas foto tahun 2019–2021.

Memiliki mantan flagship tetap berarti memiliki flagship. Sama seperti membeli mobil mewah dengan harga murah. Alphard-mu memang lebih murah daripada Veloz, tetapi Alphard tetaplah Alphard. Merawat Alphard tentu lebih mahal dan rumit daripada merawat Veloz yang basisnya seekor Avanza. Inilah yang saya rasakan setelah 6 tahun menggunakan ponsel ini.

Layar Galaxy Note 8 yang sempat saya gunakan

Layar Samsung adalah layar terbaik dalam ponsel, tetapi jangan lupa bahwa layar Samsung sering rusak. Kekhawatiran utama saya dalam menggunakan ponsel ini bila layarnya rusak. Beberapa tahun yang lalu, bersamaan dengan ponsel ini, saya dihibahkan Galaxy Note 8 yang layarnya bertompel dan green screen. Padahal, penggunaan ponsel tersebut masih dalam kategori wajar (pemakaian sehari-hari oleh ibu saya). Ponsel yang makin hari makin tua tentu membuat saya khawatir bila suatu saat akan bernasib sama. Hal yang membuat frustrasi adalah harga layarnya jauh lebih mahal daripada harga ponselnya. Siapa yang ingin mengganti layar ponsel tua seharga jutaan bila dengan harga yang sama, sudah bisa membeli ponselnya? Menurut situs Samsung per 25 Mei 2024, harga layarnya adalah Rp1.708.279 sedangkan harga ponsel di e-commerce berkisar antara Rp1.250.000 hingga Rp1.700.000)

Tidak dapat memasang Tempered Glass lengkung dengan benar

Memiliki ponsel berdesain cantik berarti kita harus merawatnya agar tetap cantik. Hal ini juga dapat menjadi penghalang bagi saya yang menggunakan ponsel se-enaknya (tidak takut jatuh). Kerap kali saya harus menggunakan casing yang menutupi kemewahan desain ini. Saya juga harus menggunakan tempered glass khusus layar melengkung, yang dari 5 tahun yang lalu, saya masih belum bisa memasangnya. Kecantikan ponsel ini harus terabaikan karena rasa sayang bila pecah. Seperti poin sebelumnya, biaya perawatannya lebih mahal daripada ponsel kelas menengah.

Dua kelemahan di atas merupakan dua kelemahan yang dapat saya pikirkan setelah 6 tahun menggunakan ponsel ini. Perlu disyukuri bahwa kelemahan tersebut belum terasa bagi saya. Perihal takut layar rusak, hal tersebut belum terjadi, dan masalah merawat ponsel karena desainnya yang cantik juga hanyalah kewajiban yang saya buat sendiri. Tidak ada yang melarang saya untuk tidak menggunakan casing dan tempered glass, apalagi dengan ponsel yang sudah tidak ada harganya.

Bagi saya, ada 3 kekurangan yang terasa setelah 6 tahun menggunakan ponsel ini, tetapi hal tersebut wajar karena ponsel yang sudah jadul sedangkan dunia sudah bergerak. Bukan salah ponselnya. Hanya kebutuhan saja yang berubah. Di antaranya adalah kamera, performa, dan baterai.

Meski kamera adalah salah satu keunggulan ponsel ini saat itu, tidak dapat dipungkiri bahwa 6 tahun kemudian, hasil dari kamera ini sangat kurang dibandingkan ponsel-ponsel terbaru. Ada keinginan mengganti ponsel ke tipe yang tidak membuat saya malu untuk mengupdate Instagram Stories atau post foto di Feed Instagram. Ungkapan stories Android yang burik dan patah-patah berlaku untuk ponsel ini, yang sudah berusia 6 tahun.

Bagi saya, kamera ini masih cukup. Tentu masih cukup untuk mendokumentasikan perjalanan saya ke konser BLACKPINK, setahun yang lalu. Tetapi, keinginan untuk mencari yang lebih baik bukanlah sebuah masalah, kan? Cukup bukan berarti bagus. Saya tidak masalah makan nasi sisa kemarin, tetapi alangkah baiknya bila saya makan nasi yang baru. Lebih lagi, menyajikan nasi yang baru kepada tamu akan menimbulkan kepuasan bagi diri sendiri, meski nasi sisa kemarin belum basi.

Saya tidak ada masalah dengan performa ponsel. Ponsel ini sama gesitnya sekarang dengan 6 tahun yang lalu. Tetapi, makin besar dan rakusnya aplikasi membuat ponsel ini cepat panas. Terkadang sangat panas hanya untuk TikTok-an hingga merassa tidak nyaman untuk digunakan. Meski performanya masih gesit, saya dapat merasakan ponsel ini bekerja lebih keras untuk mempertahakan performa tersebut.

Terakhir, baterai. Ini tidak dapat saya salahkan karena dari awalnya ponsel ini sudah boros. Saat masih baru, ponsel ini barely dapat menemani saya seharian penuh. Sekarang, sehari mungkin perlu 2-3x cas singkat, khususnya bila akan keluar rumah. Power Bank juga selalu tersedia di tas. Hal yang wajar untuk baterai kecil berusia 6 tahun.

Pada akhirnya, inilah ponsel terbaik yang pernah saya miliki. Tidak sempurna, namun cukup sempurna untuk semua yang saya lakukan. Selain kamera, tidak ada alasan lain bagi saya untuk mengganti ponsel. Inilah yang memberatkan saya untuk mengganti ponsel. Dengan apa? Apa yang dapat saya lakukan dengan ponsel baru yang tidak dapat saya lakukan saat ini? Pertanyaan serupa saya lontarkan tahun lalu dan masih saya lontarkan sekarang.

Saya pernah mencoba iPhone 11 dan merasa tidak menemukan peningkatan signifikan dalam hal kamera. Lebih baik dan tidak membuat saya malu update Stories, tetapi tidak se-wah yang saya kira (meski 0.5x membuka ide-ide baru untuk memotret). Belum lagi, ada kemunduran dalam kualitas layar dan desain. Inilah iPhone paling populer saat ini, yang hanya setahun lebih muda dari ponsel saya. Mungkin perlu iPhone 12 ke atas untuk merasakan peningkatan yang signifikan? Teman saya memiliki iPhone 14 Pro Max yang meski kameranya bagus, masih terlihat seperti hasil ponsel. Mungkin ekspektasi saya yang ketinggian?

Membeli Samsung seri-S yang baru atau yang baru minus satu bukanlah pilihan. Harganya masih sangat mahal untuk ponsel yang penggunaannya masih sama. Meski seri-S terutama S Ultra memiliki kamera yang bagus, masih ada stigma hasil kamera Android yang burik. Selain untuk zoom-nya, (berarti Galaxy S non-ultra) belum ada alasan yang cukup menggugah saya untuk membeli flagship Samsung.

Membeli ponsel kelas menengah mungkin menjadi pilihan yang paling masuk akal bagi saya. Harganya yang masuk akal, performanya yang (menurut review) bagus, feel yang tidak murahan, dan kembali ke kelas menengah membuat saya tidak terlalu khawatir dengan ponsel. Tetapi, hal ini tetap tidak menjawab permasalahan kamera. Mungkin ada peningkatan dari ponsel berusia 6 tahun, tapi bila iPhone 14 saja tidak terlalu memuaskan saya, apa yang dapat memuaskan saya? Namun, inilah pilihan yang paling mungkin saya ambil bila suatu saat harus mengganti ponsel.

Ponsel ini bukan hanya barang terpenting yang saya miliki, tetapi juga barang paling membingungkan yang saya miliki. Kekurangan dari memiliki sesuatu yang baik adalah tidak tahu cara untuk menggantinya. Saya hanya berharap ponsel ini dapat tahan, setidaknya sampai 1 tahun ke depan, hingga saya memiliki alasan untuk mengganti ponsel, bukan karena rusak.

Power Button baru!

Ironisnya, saat saya menulis artikel ini (dalam rentang beberapa hari), memuji ketahanan ponsel ini, tombol powernya lepas. Mungkin ponsel saya berkata, “Pensiunkan aku!”. Sekarang, saya telah membeli tombol power baru, bukan ganti ponsel!

--

--

Jonathan Ray
Jonathan Ray

Written by Jonathan Ray

Curahan isi otak dan hati oleh seorang yang biasa saja. Opini pribadi, tidak menggambarkan siapapun kecuali saya.

No responses yet